top of page
  • Writer's pictureOlyn Silvania

Satu Semester di Kelas Anti-Mainstream Melegakan

Hi, Lensaners! Setelah sekian bulan purnama, akhirnya blog ini hidup kembali.


Artikel ini adalah tindak lanjut dari konten IG feeds saya yang berjudul, “Mahasiswa Kuliah di Kelas Sambil Duduk Melingkar?” (ini link-nya https://www.instagram.com/p/CmDi7cbvMnr/ ). Secara garis besar, konten IG feeds tersebut membahas tentang pengalaman saya mengikuti kegiatan photo story dalam mata kuliah Psikologi Perkembangan Sosial dan Emosi (PPSE). Agar lensaners lebih mampu meresapi tulisan dalam artikel ini, saya sarankan untuk membaca IG feeds-nya terlebih dahulu.


For information, PPSE adalah salah satu mata kuliah dalam peminatan Psikologi Perkembangan Kognitif, Sosial, dan Emosi dalam Perspektif Life-span di Program Magister Psikologi UGM. Dosen pengampu mata kuliah ini adalah Ibu Theresia Novi Poespita Candra atau Bu Novi. Selain berprofesi sebagai dosen Fakultas Psikologi UGM, beliau juga menjadi co-founder Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM). GSM adalah gerakan akar rumput yang bertujuan untuk mengubah paradigma pendidikan yang mengutamakan kesejahteraan psikologis (well-being) dengan cara melakukan transformasi ekosistem sekolah-sekolah pinggiran (Candra & Rizal, 2019). Buat lensaners yang tertarik dengan isu-isu pendidikan, GSM ini bisa menjadi rekomendasi bahan kajian kalian. Lensaners bisa baca profilnya di website GSM atau konten-kontennya di Instagram GSM


Okey, kembali lagi ke laptop…..

Selama satu semester mengikuti kelas PPSE, saya mendeskripsikan kelas ini dengan kalimat anti-mainstream melegakan. Kata anti-mainstream menggambarkan kesan saya akan kelas PPSE yang unik. Letak keunikan yang pertama adalah tidak diharuskannya kami untuk membawa alat tulis dan kertas untuk mencatat materi perkuliahan. It’s okay kalau kami hanya mendengarkan. Meski demikian, beliau berkata bahwa kami cukup membawa kesadaran diri dan keberanian untuk berpendapat selama proses pembelajaran.


Saya melihat bahwa proses pembelajaran di mata kuliah PPSE menggunakan pembelajaran sosial dan emosi. Pembelajaran sosial dan emosi adalah proses individu untuk belajar menerapkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan secara efektif untuk memahami serta mengelola emosi, menetapkan dan mencapai tujuan positif, berempati kepada orang lain, membangun dan memelihara hubungan positif, dan membuat keputusan yang bertanggungjawab (CASEL, 2008). Goleman (2022) menjelaskan bahwa pembelajaran sosial dan emosi merujuk pada konsep kecerdasan emosi, yaitu kesadaran diri, manajemen diri, empati, keterampilan dalam berelasi, dan mengambil keputusan yang bertanggungjawab.


Proses pembentukan kecerdasan emosi tidak terjadi secara instan. Kecerdasan emosi harus dilatih, dipelajari, dan dikembangkan sejak usia dini. Keluarga sebagai lingkungan pertama anak adalah salah satu tempat yang baik untuk melatih kecerdasan emosi anak (Prawitasari, 1997). Apa yang dikatakan oleh Prof. Johana Endang Prawitasari tersebut mengingatkan saya dengan konten-konten parenting terkait cara mengembangkan kecerdasan emosi anak yang sudah banyak berseliweran di media sosial. Beberapa diantaranya adalah orang tua yang perlu berusaha menjadi contoh yang baik dalam berperilaku, membimbing anak untuk mengenal emosi, membangun empati anak dengan cara menceritakan pengalaman orang lain (bukan buat di-gibahin, tapi pantik anak dengan pertanyaan-pertanyaan seputar kondisi orang yang diceritakan), membiasakan anak bekerjasama, mengasah keterampilan pemecahan masalah dengan menawarkan beberapa opsi, dan memberikan kata-kata motivasi yang dapat meningkatkan rasa percaya diri anak (Adrian, 2020).


Kecerdasan emosi anak akan jauh lebih optimal apabila terdapat peran aktif sekolah dalam menciptakan lingkungan belajar yang positif dan menyenangkan. Dalam setiap pertemuan kelas, kami selalu diajak untuk mendiskusikan permasalahan seputar sosial dan emosi yang ada di lingkungan sekitar, seperti cyberbullying, perilaku masyarakat yang membuang sampah sembarangan, dan lain sebagainya. Lalu berbeda dengan tugas perkuliahan di jenjang S2 yang biasanya berupa review jurnal, membuat artikel dalam format manuskrip, dan laporan psikoedukasi, kebanyakan tugas kuliah dalam mata kuliah PPSE adalah refleksi. Tugas refleksi inilah yang menjadi letak keunikan kedua.


Dalam tugas refleksi, kesadaran kami dibentuk ketika menjawab empat pertanyaan, “Apa yang dilihat dan didengar?”, “Apa yang dirasakan”, “Apa yang dipikirkan”, dan “Apa yang akan dilakukan?” Saya pernah diberikan tugas untuk mereview dan membuat refleksi video YouTube yang berjudul, “Dua Keahlian Terpenting untuk Dimiliki Seumur Hidup Anda" (https://www.youtube.com/watch?v=6dn3CHIvcEk). Selama mengerjakan tugas itu, saya menjadi lebih sadar bahwa kestabilan mental dan kecerdasan emosi adalah keterampilan yang dapat menunjang kita untuk beradaptasi terhadap perubahan zaman. Lewat video itu pula, saya kembali diingatkan bahwa kecerdasan emosi adalah keterampilan yang paling dibutuhkan di dunia kerja untuk tahun 2025 (World Economic Forum, 2020). Tidak dapat dipungkiri, bahwa kecerdasan emosi dapat menunjang seseorang untuk mengatasi konflik di lingkungan kerja, membangun relasi dengan individu dari berbagai generasi, dan meningkatkan resiliensi seseorang ketika menghadapi kegagalan. Dengan demikian, kecerdasan emosi menjadi penyumbang penting kesuksesan seseorang dalam kehidupan.


Tugas refleksi video ini membuat saya bersyukur karena bisa belajar dan diingatkan oleh sesuatu yang berdampak positif untuk masa depan. Rasa syukur inilah yang mendorong saya untuk membuat action plan seperti berusaha fokus pada hal-hal yang bisa dikontrol, mengelola waktu sebaik mungkin agar tercipta keseimbangan, dan berusaha melihat perspektif orang lain. Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa dampak tugas refleksi terhadap perkembangan sosial dan emosi saya adalah meningkatkan kepekaan dan kesadaran terhadap situasi serta isu-isu yang ada dan memantik saya untuk melakukan action plan yang berdampak positif bagi diri saya dan orang lain.


Namun tugas refleksi bukan satu-satunya tugas yang mengasah kecerdasan emosi. Seperti yang dijelaskan oleh Candra dan Rizal (2019), pertumbuhan karakter tidak boleh hanya berhenti pada materi tentang sikap baik dan atau pembiasaan saja, melainkan perlu dihidupkan oleh kesadaran diri. Yups, kesadaran diri kami turut dihidupkan oleh kegiatan photo story di mana kami menceritakan foto yang paling berkesan dan akan dielaborasi oleh teman-teman serta dosen berupa pertanyaan dan tanggapan. Kegiatan photo story yang dilakukan dengan formasi circle time memiliki efek melegakan karena memberi kesempatan pada mahasiswa untuk mengekspresikan emosi seperti emosi senang, sedih, dan marah. Bagi saya, mengeluarkan emosi dapat membantu kita untuk beradaptasi dengan emosi sehingga berkontribusi dalam peningkatan kesehatan mental. Saya merasa bahwa lagu Dunia Tipu-Tipu milik Yura Yunita sangat menggambarkan kegiatan photo story ini.


Saya memilih untuk menceritakan foto masa kecil saya di usia 4 tahun di mana saat itu saya baru mau berbicara. Setelah mempelajari ilmu Psikologi perkembangan, peristiwa tersebut ternyata berdampak terhadap perkembangan saya di masa-masa sekolah. Saya beberapa kali mengalami struggle dari segi sosial seperti perundungan, rasa insecure yang cukup tinggi, dan kebencian terhadap diri sendiri di masa remaja. Namun setelah belajar ilmu Psikologi di S1, saya belajar bahwa selalu ada hikmah di balik peristiwa yang kurang menyenangkan. Peristiwa kurang menyenangkan mengajarkan saya pentingnya rendah hati, sehingga saya merasa didewasakan olehnya. Kemudian, saya turut belajar akan pentingnya penerimaan diri (self acceptance) karena setiap manusia memiliki keunikan tersendiri dan tidak semua hal dalam hidup ini ada dalam kendali kita. Maka dari itu, saya belajar untuk lebih fokus mengembangkan kelebihan diri dan terhadap hal-hal yang bisa dikendalikan. Dengan demikian, ilmu Psikologi menjadi titik balik perubahan dalam hidup saya karena saya perlahan-lahan mulai bangkit dari rasa insecure dan berusaha untuk mengembangkan diri dengan cara mengikuti kegiatan akademik maupun non-akademik selama studi S1. Usaha ini membuahkan hasil di mana saya bisa mengasah hardskill, softkill, dan belajar dari orang-orang hebat di bidangnya masing-masing.


Terdapat hal yang saya syukuri dari kegiatan photo story ini, yaitu banyaknya tanggapan dan pertanyaan dari teman-teman setelah saya selesai bercerita. Tanggapan dan pertanyaan mereka tidak bersifat menghakimi, melainkan berusaha untuk memahami. Hal ini yang membuat saya merasa didengar dan dihargai sebagai manusia. Pengalaman ini yang memotivasi saya untuk terus berusaha menjadi pendengar yang aktif.


Saya pernah membaca unggahan instagram feeds dari akun @menjadimanusia.id yang bertuliskan “Pencapaian yang seringkali disepelekan adalah bertahan hidup.” Unggahan tersebut menjadi pelajaran pribadi yang saya dapatkan dari kegiatan photo story. Saya belajar akan pentingnya mengapresiasi keberadaan diri saya hingga saat ini. Hal tersebut tentunya tidak lepas dari penyertaan Tuhan dan dukungan sosial yang diberikan oleh orang-orang terdekat saya. Kemudian, kegiatan photo story ini mengajarkan saya untuk selalu melihat dan menghargai pertumbuhan diri berupa peningkatan pengetahuan dan sikap. Contohnya jika pada masa sekolah dasar, saya melihat seorang anak melakukan bullying karena rasa iri hati semata, maka ketika memasuki masa kuliah saya melihat bahwa perilaku bullying disebabkan oleh banyak faktor, seperti pola asuh yang kurang baik, gangguan kepribadian, riwayat kekerasan, dan lain sebagainya. Pertumbuhan diri memotivasi saya untuk selalu belajar dan mengembangkan diri.


Selanjutnya kegiatan photo story dengan formasi circle time mengajarkan saya untuk berbagi dan memotivasi satu sama lain (Hanabella & Candra, 2021). Contohnya, ketika saya mendengarkan cerita teman yang begitu berkesan dan terdorong untuk memberikan tanggapan padanya, saya memberikan ruang terlebih dahulu kepada teman yang lain untuk berpendapat, baru giliran saya. Hal ini dikarenakan saya menyadari bahwa pendapat dan pertanyaan setiap orang dapat memperluas perspektif akan suatu isu. Oleh karena itu, penting bagi saya untuk belajar mendengar dan menghargai pendapat dan pertanyaan teman yang lain. Selain itu, kegiatan photo story ini juga mengajarkan saya untuk lebih berempati dengan teman-teman saya. Hal ini dikarenakan dari cerita mereka, saya dapat memahami faktor yang menyebabkan teman saya memiliki sikap dan karakter yang saya lihat di kampus, sehingga menjadikan saya tidak mudah menghakimi mereka. Lebih lanjut dari pengalaman beberapa teman, saya belajar bahwa setiap orang memiliki struggle-nya tersendiri, sehingga hal ini menjadi pengingat bagi saya untuk tidak terlalu mudah mengasihani diri sendiri ketika menghadapi suatu msalah.


Akhir kata, saya berpendapat bahwa pembelajaran sosial dan emosi di mata kuliah PPSE dapat menjadi referensi bagi pendidik untuk menerapkan metode pembelajaran yang lebih memanusiakan manusia. Hal ini dikarenakan lingkungan belajar yang positif dan saling menghargai satu sama lain tidak hanya meningkatkan motivasi peserta didik untuk menimba ilmu, tetapi juga meningkatkan kecerdasan emosinya ketika hidup berdampingan dengan orang lain.


Cheers,


Olyn Silvania



Referensi:


Adrian, K. (2020, Desember 8). 6 tips menumbuhkan kecerdasan emosional (EQ) anak. Alodokter. https://www.alodokter.com/6-tips-menumbuhkan-kecerdasan-emosional-eq-anak


Candra, T. N. P., & Rizal, M. N. (2021). Sekolah Menyenangkan: Konsep sekolah yang mempromosikan well-being berdasarkan suara anak-anak, orang tua, dan guru di Indonesia: Grounded analisis. Jurnal Psikologi Integratif, 9(1), 76-94.


Collaborative for Academic Social and Emotional Learning (CASEL). (2008). An Educational leader’s guide to Evidence-based Social and Emotional Learning (SEL) programs. http://www.casel.org/downloads/SEL &CASELbackground.pdf


Goleman, D. (2002). Working with Emotional Intelligence (terjemahan). PT. Gramedia Pustaka Utama


Hanabella, R., & Candra, T. N. P. (2021). Eksplorasi implementasi circle time pada sekolah dasar yang menerapkan Gerakan Sekolah Menyenangkan. Jurnal Psikologi Teori dan Terapan, 12(1), 1-18. https://doi.org/10.26740/jptt.v12n1.p1-18


Prawitasari, J. E. Kecerdasan emosi. Buletin Psikologi, 1, 21-31.


World Economic Forum (2020). The future of jobs report 2020. https://www3.weforum.org/docs/WEF_Future_of_Jobs_2020.pdf



bottom of page